Jumat, 12 Juli 2013

#emperanseni


Tempat lamunan pemimpi dan penikmat seni,
disini kami berbagi intuisi yang kami punyai.
Inilah emperan seni dengan secangkir kopi kami,
Mencairkan obrolan seni yang kesana-kemari.
Kami para pemimpi yang tak ingin berhenti sampai disini,
Angin dingin kota anarki seakan menjadi bara api, ketika kami saling bertukar imajinasi.
Sampai aku tak tahu caranya menyambut pagi, bahkan untuk saling mengucapkan selamat pagi.
Sementara kampoeng jancuk sedang terbuai dalam sekar mimpi,
Kami sekumpulan kecil dari mereka yang berusaha menyuarakan seni ketika pagi mulai pergi.
Ini cara kami berdiskusi seni, berkarya dan menjadi bagian dari  seni,
Bukannya sok nyeni, tapi kami benar-benar mencintai seni.
Sesekali musik-musik band indie menemani obrolan dan canda tawa kami,
Seperti ; dialog dini hari, festivalist, navicula, suicidal, dan setumpuk karya iblis-iblis yang lain.
Terlepas dari semuanya, emperan seni hanyalah sebuah emperan saja,
Emperan sederhana, bertikar anyaman plastik ,tanpa kursi  untuk orang-orang berdasi .
Selamat pagi para pemimpi dan penikmat seni, kalianlah sesungguhnya intan ibu pertiwi ini.

 (kami dan setumpuk karya kami)
~tanah anarki~

Kamis, 11 Juli 2013

Teman Pencerita


Teman pencerita sang pengolah raga dan sukma yang begitu luar biasa, sedikit saya bercerita tentang siapa sang teman pencerita yang saya maksud. 

Perawan bertalenta yang dalam beberapa tahun akhir ini sering mengisi pikiran saya ketika sepi terlarut dalam lamunanku sendiri.  Bak ombak yang bergulung di laut lepas, seketika ia seakan memecah karang yang sudah terlalu lama terdiam. Bayang-bayang teman pencerita semakin jelas dan terus menggumpal di dalam tempurung kepala ini. #ASUdahlah bung teriaknya di sisi kegelapan kedua retinaku.

Sesekali kami saling memotivasi diri, ketika satu diantara kami sedang melayang terbawa arus waktu yang kurang begitu jelas. Kami memperjelasnya dengan saling bercerita. 

Dilema mahasiswa akut yang merindukan kampung halamannya, seputar masakan rumah yang sempat membuat kami gila dan memaksa menarik-ulur air liur kami diranjang masing-masing, atau hal-hal yang mengganjal perasaan kami untuk di sharingkan, tentang keluarga, masalah disekitar kami, bahkan tentang sebuah mimpi yang terbeli.  Lepas lelah terasa lebih ringan disaat kami asyik bercerita dan seketika terlelap dalam gerhana mata kami masing-masing. Hanya sebuah rasa kangen terhadap keluarga kami. Inilah salah satu cara kita mensiasati malam di kota perantauan. tempat dimana kami harus keluar dari kerajaan kanjuruhan sesuai target kami masing-masing.

Semua kami ceritakan dalam sela-sela waktu di luar kesibukan kampus, maka itu aku menyebutnya  teman pencerita. Teman pencerita seakan menyelamatkanku dari reruntuhan sepi yang kadang mendominasi ruangan ini, ruang pengap tanpa jendela berukuran 3x3 meter ini, seperti sepetak ruang dimana aku harus menjadi lebih berarti untuk diriku sendiri di masa mendatang. Teman pencerita berada dalam karyaku, menemani sisa-sisa waktu di tanah anarki ini. 

Tapi bukan hanya sebatas ini, dia seperti partner ketika kami menciptakan sebuah karya, 2 karya drama kami ciptakan bersama, drama pertama kami “ ande-ande lumut ” dan drama yang masih hangat akhir-akhir ini adalah “Turning Love”. Sebagian besar orang di luar sana menganggap karya hanyalah hal yang semu untuk dinikmati dan tak begitu berarti. Tapi bagi kami karya adalah bagian dari aku dan teman pencerita.
 
Waktu terus berlalu dan seakan beku di sekujur tubuhku entah apa yang ada dikepalaku, tapi ini seperti musibah yang terus merajah urat-urat nadiku, sebuah rasa yang takkan aku mengerti sebelumnya dan sangat sulit untuk aku tafsirkan di kehidupan nyata ini. Rasa itu membelenggu hari-hariku, membuat aktivitasku untuk beberapa pekan terakhir ini begitu berwarna, aku seperti setitik bercak hitam yang tenggelam diantara warna-warna cat diatas pallet kesukaanku. Yah, itulah mungkin aku menamakannya rasa dalam puing-puing kata ini, seperti yang sudah ia tulis di header blognya tahun lalu.

Teman pencerita yang membawa cinta untuk seorang pemuda dari jogja, atau bahkan sebaliknya?? aku tidak tahu kalimat apa yang pas untuk mewakilkan ini semua, ini sudah terlalu dalam, sangat dalam untuk aku dan teman pencerita, tapi aku tidak berhenti disini. Aku terus maju untuk memperjuangkan rasa diantara kata-kata yang berserakan . 

Terkadang di kerumunan rakyat kanjuruhan dia tersenyum bingar, senyumnya terapit 2 bulan sabit kecil di kanan-kiri pipinya memebekukan panas matahari yang saat itu menyengat J, aku tetap terdiam dan terus menikmati senyum teman pencerita yang sangat khas bagiku. Dan terbukti bahagia itu sederhana, melihatnya bahagia, sudah cukup melegakan bagiku. sampai suatu pagi aku tercerahkan oleh 2 belati yang tiba-tiba tertancap di bola mataku. 

Pagi yang menakjubkan , tepatnya 8 july 2013, sekitar pukul 9.45 waktu Indonesia bagian nggerus. bahkan terlalu pagi untuk seorang insomnia sepertiku. Aku dikejutkan dengan teman pencerita dan pemuda dari seberang jalan, tepat aku keluar dari kampus.  Aku tetap berjalan pelan dan seakan ribuan belati turun dari karung-karung Tuhan menghujani tempurung kepalaku, aku terus melangkahkan penopang raga ini ke arah redrose, kuda besi yang kuparkir disebelah kampus, tempat favorite redrose , dimana redrose selalu setia menungguku selama oven panas kerajaan kanjuruhan di mulai. Redrose juga menjadi salah satu saksi dimana sebuah kebenaran terungkap. Langkahku kecil dan mereka semakin pelan, tanyaku “ lho kok belum berangkat??” jawabnya “iya travelku telat”. Kemudian mereka menghilang diantara gugusan awan yang sangat menyilaukan.  Rencana yang ku susun matang-matang dengan redrose, akhirnya membusuk dan menghasilkan bau yang tak begitu sedap. Redrose bergumam #ASUdahlah bung.. bung, bekalmu akan aku simpan biarkan bekalmu menjadi pemberatku, biarkan aku mengurangi bebanmu. Lalu Aku kembali ke beranda emperan seni ditempat lamunanku terjaga dan redrose yang setia menemaniku. 

Pagi yang cukup membuatku gila, hingar-bingar-hampa aktivitas dan rutinitas waktu itu berantakan, sangat kacau. Tapi aku tetap menjadi pengendali raga terbaik, seperti yang sudah pria setengah baya itu katakan padaku “Tetaplah menjadi pengendali raga terbaik di dunia ini”. Secarik kalimat itu juga menjadi bagian aku dan teman pencerita. Akhirnya aku memilih suatu sikap sejati dari seorang pemuda biasa yang belajar menjadi jiwa seorang seniman. Menarik garis keras dari pensil conteku. Garis keras untuk sebuah rasa yang sudah menjadi ganas dan bringas. Aku membatasi rasa tersebut, bersifat professional layaknya seniman kawakan, mengurung rasa itu di jeruji setan, dimana sekumpulan iblis berdiam melengkingkan ribuan tangga nada rasanya. 

Mengaguminya dan menjadikannya teman pencerita, hanya sebatas itu. tidak ada lebihnya setelah aku mengetahui semuanya. Teman pencerita hanyalah teman pencerita saja dan akan tetap menjadi teman pencerita. Memposisikan diri untuk cerita-cerita selanjutnya bersama teman pencerita.  

Teman pencerita telah mempunyai seorang penjaga dari kerajaan seberang. sementara aku tetap dengan karyaku dan setumpuk mimpiku yang sempat terbeli di tanah anarki ini.

Rasa ini tetap manjadi maha karya yang luar biasa, aku tetap menyimpannya di kotak kecil tumpukan rasa dan entah kapan waktunya aku akan membakarnya bersama lengkingan-lengkingan iblis penghuni penjara setan. Di tanah anarki ini aku tancapkan belati tuhan untuk para penghuni nestapa negeri seberang. 

Salah satu senyum teman pencerita yang aku buat sketch tadi pagi J #bahagiaitusederhana, melihatnya tersenyum bahagia diatas bianglala. Tetaplah menjadi pengendali raga terbaik, aku telah menjadi pengendali rasa terbaik untuk kita. Anda teman pencerita yang hebat !!!
 teman pencerita (12 july 2013)