Senin, 01 September 2014

PESAN YANG KINI MENJADI HARAPAN.

Aku percaya kita akan di pertemukan lagi oleh waktu yang takkan seorang pun tahu,
Aku percaya suatu saat nanti kita pasti bertemu di belahan dunia ini,
Aku yakin harapanku kuat untuk bertemu denganmu lagi,
Entah di kota mana nanti kita beertemu lagi,
Yakinkan aku.. kau bahagia bertemu aku lagi,
Engkau lega melihatku lagi,
Kita lepas dalam tawa yang selama ini kita pendam dalam sekar mimpi,
Entah mengapa aku merasa aneh belakangan ini,
Dalam gerhana mataku aku selalu melihatmu tersenyum,
Namun terkadang kau memanggilku beberapa kali,
Seperti ada sesuatu yang memenjarakanmu,
Ada sesuatu yang mengikat kebebasanmu,
Tetapi setelah beberapa pesanmu ku baca,
Aku tahu semua hal yang mengikatmu,
Semua hal yang menahanmu dalam kebebasanmu,
Harapan yang tadinya padam, kini mulai hidup lagi.
Harapan yang sudah lama tertimbun jerami itu pun
Terbakar oleh beberapa pesanmu yang menguatkanku.
Terima kasih semesta kau telah mendengar hati kecil ini.
Aku akan menunggu pertemuan itu lagi.


Kamis, 28 Agustus 2014

MENULIS ATAU HANYA DIAM

        Pada akhirnya aku berhenti kepada senja yang mempertemukanku kembali pada kata yang sukar untuk dipahami ini. pada beberapa baris kalimat yang lugu. Kalimat yang sering aku gumamkan di jejaring sosial ataupun notes kecilku. Tapi aku tidak berhenti pada sebuah tanda kalimat yang sudah mutlak disebut dengan titik. Aku tidak berhenti di sini.

      Aku kembali menuliskan apa-apa yang seharusnya ku tulis lagi, apa-apa yang harus ku renungkan lagi. Mungkin aku tidak akan berhenti menuliskan semua ceritaku, aku akan terus menulis, menulis dan menulis lagi. Karena ini bagian dari teman dimana aku dapat menumpahkan semuanya di dalam rangkaian kata yang sukar di pahami oleh semua orang. Aku suka menulis.

      Mungkin semacan diary atau sejenisnya, ketika kau menuliskan ceritamu, semua terasa lega, dan kau akan selalu tersenyum kembali ketika membacanya. Terkadang mungkin melelahkan untuk memulai membaca beberapa baris kalimat yang tersusun rapi dalam beberapa paragraf bahkan buku. Sebagian orang yang tak mempedulikan bahkan tak mepunyai rasa keindahan sastra akan merasa muak jika melihatnya. Namun bagiku tidak!! tidak seperti itu!! Aku selalu menghargai tulisan tulisan indah yang membentuk karya sastra.

      Mungkin aku bercita-cita sebagai seorang penulis, tapi intuisiku untuk kesana belum terlalu mumpuni. Semua itu takkan menjadi hal yang mustahil ketika kita mempercayainya. Semua butuh waktu, butuh proses, dan butuh ketelatenan untuk mewujudkannya. Semuanya berasal dari sini. dari niat dan semangat.

      Namun beberapa hari ini aku merasa muak hidup di sekeliling orang yang menghabiskan waktunya sia-sia dan hampir tak tersisa untuk sesuatu yang berguna. berjam-jam di depan televisi, berjam-jam sibuk dengan gadgetnya, berjam-jam tidur tanpa teringat harus terbangun, nongkrong di warkop seharian dan tidak menghasilkan apa-apa. Tak ada *carpe diem* di dalam diri mereka, tak ada niat melawan keseharian yang begitu-begitu saja, jujur aku sendiri merasa risih dan tenggelam di kerumunan mereka. aku merasa seperti orang asing di planet yang berbeda. dan harus bersinggungan dengan mereka.

       Mungkin aku bukan pekerja keras seperti kuli pasar, tukang ojek, atau buruh-buruh lainnya. yang setiap harinya bercucuran keringat untuk sesuatu yang berharga dalam keluarganya. Aku hanya manusia yang sangat mencintai karya dan itu alasan saya harus menulis, membuat sketch, mural dan karya-karya lainnya.



Senin, 10 Februari 2014

ILUSI DALAM SECANGKIR KOPI

Ketika pagi masih sembunyi..
Aku masih sendiri,..
Sendiri dari mereka yang terlelap dibuai sekar mimpi.
Rasa rindu semakin akrab dengan sepi dan ilusi.
Rasa rinduku masih berdiam di pelipis ini,
Menggumpal seperti isi perut  kapal.
Pelan-pelan rasa rinduku menyelinap di sela-sela pintu
Yang berderit lambat...
Rintik hujan pagi meramaikan hati yang sepi,
Namun lagi-lagi sepi ini terus bersembunyi..
Bersembunyi di dalam rongga hati sebelah kiri.
Rasa ini mulai menghangatkan nadi-nadi yang mulai termakan ilusi.
Tapi, bolehkah aku sedikit saja menikmati pagiku denganmu ?
Dengan teman-teman pelengkap kita; kopi. rokok, hot coklat, dan setumpuk bukumu ??
Dengan senyumanmu yang sebentar lagi pergi, Bolehkah ??
Sesaat aku terdiam dalam ilusi yang semakin menarikku ke dalamnya..
Melamunkanmu di pagi indahku,..
dan sekejap bayangmu tenggelam di dalam secangkir kopi hitamku.



Jumat, 12 Juli 2013

#emperanseni


Tempat lamunan pemimpi dan penikmat seni,
disini kami berbagi intuisi yang kami punyai.
Inilah emperan seni dengan secangkir kopi kami,
Mencairkan obrolan seni yang kesana-kemari.
Kami para pemimpi yang tak ingin berhenti sampai disini,
Angin dingin kota anarki seakan menjadi bara api, ketika kami saling bertukar imajinasi.
Sampai aku tak tahu caranya menyambut pagi, bahkan untuk saling mengucapkan selamat pagi.
Sementara kampoeng jancuk sedang terbuai dalam sekar mimpi,
Kami sekumpulan kecil dari mereka yang berusaha menyuarakan seni ketika pagi mulai pergi.
Ini cara kami berdiskusi seni, berkarya dan menjadi bagian dari  seni,
Bukannya sok nyeni, tapi kami benar-benar mencintai seni.
Sesekali musik-musik band indie menemani obrolan dan canda tawa kami,
Seperti ; dialog dini hari, festivalist, navicula, suicidal, dan setumpuk karya iblis-iblis yang lain.
Terlepas dari semuanya, emperan seni hanyalah sebuah emperan saja,
Emperan sederhana, bertikar anyaman plastik ,tanpa kursi  untuk orang-orang berdasi .
Selamat pagi para pemimpi dan penikmat seni, kalianlah sesungguhnya intan ibu pertiwi ini.

 (kami dan setumpuk karya kami)
~tanah anarki~

Kamis, 11 Juli 2013

Teman Pencerita


Teman pencerita sang pengolah raga dan sukma yang begitu luar biasa, sedikit saya bercerita tentang siapa sang teman pencerita yang saya maksud. 

Perawan bertalenta yang dalam beberapa tahun akhir ini sering mengisi pikiran saya ketika sepi terlarut dalam lamunanku sendiri.  Bak ombak yang bergulung di laut lepas, seketika ia seakan memecah karang yang sudah terlalu lama terdiam. Bayang-bayang teman pencerita semakin jelas dan terus menggumpal di dalam tempurung kepala ini. #ASUdahlah bung teriaknya di sisi kegelapan kedua retinaku.

Sesekali kami saling memotivasi diri, ketika satu diantara kami sedang melayang terbawa arus waktu yang kurang begitu jelas. Kami memperjelasnya dengan saling bercerita. 

Dilema mahasiswa akut yang merindukan kampung halamannya, seputar masakan rumah yang sempat membuat kami gila dan memaksa menarik-ulur air liur kami diranjang masing-masing, atau hal-hal yang mengganjal perasaan kami untuk di sharingkan, tentang keluarga, masalah disekitar kami, bahkan tentang sebuah mimpi yang terbeli.  Lepas lelah terasa lebih ringan disaat kami asyik bercerita dan seketika terlelap dalam gerhana mata kami masing-masing. Hanya sebuah rasa kangen terhadap keluarga kami. Inilah salah satu cara kita mensiasati malam di kota perantauan. tempat dimana kami harus keluar dari kerajaan kanjuruhan sesuai target kami masing-masing.

Semua kami ceritakan dalam sela-sela waktu di luar kesibukan kampus, maka itu aku menyebutnya  teman pencerita. Teman pencerita seakan menyelamatkanku dari reruntuhan sepi yang kadang mendominasi ruangan ini, ruang pengap tanpa jendela berukuran 3x3 meter ini, seperti sepetak ruang dimana aku harus menjadi lebih berarti untuk diriku sendiri di masa mendatang. Teman pencerita berada dalam karyaku, menemani sisa-sisa waktu di tanah anarki ini. 

Tapi bukan hanya sebatas ini, dia seperti partner ketika kami menciptakan sebuah karya, 2 karya drama kami ciptakan bersama, drama pertama kami “ ande-ande lumut ” dan drama yang masih hangat akhir-akhir ini adalah “Turning Love”. Sebagian besar orang di luar sana menganggap karya hanyalah hal yang semu untuk dinikmati dan tak begitu berarti. Tapi bagi kami karya adalah bagian dari aku dan teman pencerita.
 
Waktu terus berlalu dan seakan beku di sekujur tubuhku entah apa yang ada dikepalaku, tapi ini seperti musibah yang terus merajah urat-urat nadiku, sebuah rasa yang takkan aku mengerti sebelumnya dan sangat sulit untuk aku tafsirkan di kehidupan nyata ini. Rasa itu membelenggu hari-hariku, membuat aktivitasku untuk beberapa pekan terakhir ini begitu berwarna, aku seperti setitik bercak hitam yang tenggelam diantara warna-warna cat diatas pallet kesukaanku. Yah, itulah mungkin aku menamakannya rasa dalam puing-puing kata ini, seperti yang sudah ia tulis di header blognya tahun lalu.

Teman pencerita yang membawa cinta untuk seorang pemuda dari jogja, atau bahkan sebaliknya?? aku tidak tahu kalimat apa yang pas untuk mewakilkan ini semua, ini sudah terlalu dalam, sangat dalam untuk aku dan teman pencerita, tapi aku tidak berhenti disini. Aku terus maju untuk memperjuangkan rasa diantara kata-kata yang berserakan . 

Terkadang di kerumunan rakyat kanjuruhan dia tersenyum bingar, senyumnya terapit 2 bulan sabit kecil di kanan-kiri pipinya memebekukan panas matahari yang saat itu menyengat J, aku tetap terdiam dan terus menikmati senyum teman pencerita yang sangat khas bagiku. Dan terbukti bahagia itu sederhana, melihatnya bahagia, sudah cukup melegakan bagiku. sampai suatu pagi aku tercerahkan oleh 2 belati yang tiba-tiba tertancap di bola mataku. 

Pagi yang menakjubkan , tepatnya 8 july 2013, sekitar pukul 9.45 waktu Indonesia bagian nggerus. bahkan terlalu pagi untuk seorang insomnia sepertiku. Aku dikejutkan dengan teman pencerita dan pemuda dari seberang jalan, tepat aku keluar dari kampus.  Aku tetap berjalan pelan dan seakan ribuan belati turun dari karung-karung Tuhan menghujani tempurung kepalaku, aku terus melangkahkan penopang raga ini ke arah redrose, kuda besi yang kuparkir disebelah kampus, tempat favorite redrose , dimana redrose selalu setia menungguku selama oven panas kerajaan kanjuruhan di mulai. Redrose juga menjadi salah satu saksi dimana sebuah kebenaran terungkap. Langkahku kecil dan mereka semakin pelan, tanyaku “ lho kok belum berangkat??” jawabnya “iya travelku telat”. Kemudian mereka menghilang diantara gugusan awan yang sangat menyilaukan.  Rencana yang ku susun matang-matang dengan redrose, akhirnya membusuk dan menghasilkan bau yang tak begitu sedap. Redrose bergumam #ASUdahlah bung.. bung, bekalmu akan aku simpan biarkan bekalmu menjadi pemberatku, biarkan aku mengurangi bebanmu. Lalu Aku kembali ke beranda emperan seni ditempat lamunanku terjaga dan redrose yang setia menemaniku. 

Pagi yang cukup membuatku gila, hingar-bingar-hampa aktivitas dan rutinitas waktu itu berantakan, sangat kacau. Tapi aku tetap menjadi pengendali raga terbaik, seperti yang sudah pria setengah baya itu katakan padaku “Tetaplah menjadi pengendali raga terbaik di dunia ini”. Secarik kalimat itu juga menjadi bagian aku dan teman pencerita. Akhirnya aku memilih suatu sikap sejati dari seorang pemuda biasa yang belajar menjadi jiwa seorang seniman. Menarik garis keras dari pensil conteku. Garis keras untuk sebuah rasa yang sudah menjadi ganas dan bringas. Aku membatasi rasa tersebut, bersifat professional layaknya seniman kawakan, mengurung rasa itu di jeruji setan, dimana sekumpulan iblis berdiam melengkingkan ribuan tangga nada rasanya. 

Mengaguminya dan menjadikannya teman pencerita, hanya sebatas itu. tidak ada lebihnya setelah aku mengetahui semuanya. Teman pencerita hanyalah teman pencerita saja dan akan tetap menjadi teman pencerita. Memposisikan diri untuk cerita-cerita selanjutnya bersama teman pencerita.  

Teman pencerita telah mempunyai seorang penjaga dari kerajaan seberang. sementara aku tetap dengan karyaku dan setumpuk mimpiku yang sempat terbeli di tanah anarki ini.

Rasa ini tetap manjadi maha karya yang luar biasa, aku tetap menyimpannya di kotak kecil tumpukan rasa dan entah kapan waktunya aku akan membakarnya bersama lengkingan-lengkingan iblis penghuni penjara setan. Di tanah anarki ini aku tancapkan belati tuhan untuk para penghuni nestapa negeri seberang. 

Salah satu senyum teman pencerita yang aku buat sketch tadi pagi J #bahagiaitusederhana, melihatnya tersenyum bahagia diatas bianglala. Tetaplah menjadi pengendali raga terbaik, aku telah menjadi pengendali rasa terbaik untuk kita. Anda teman pencerita yang hebat !!!
 teman pencerita (12 july 2013)

Minggu, 05 Mei 2013

ZOMBIE


                Kira-kira sudah setahun lebih zombie ini menggerogoti tubuhku, menghabiskan energy yang ada  dan melumpuhkan seluruh saraf tepiku. Tak ada yang mengira aku bisa bertahan sehebat ini, setangguh ini, memang tak mengeluarkan keringat tapi dengan sisa-sisa semangatku yang ada aku terus berjuang untuk melawan zombie yang cukup ganas dan bringas melebihi perkiraanku dan dugaan para medis.

                Vonis yang berat di pertengahan bulan September tahun 2012 cukup memaksa wanita setengah baya itu mengeluarkan air matanya dari kedua bola mata yang sangat indah. Tubuhnya melemah setelah salah satu dokter memvonis saya positif mengidap MH tipe BTA, dia duduk bersandar kursi tunggu pasien dan terus berkucuran air mata, perlahan aku mengusap wajahnya dan memberi semangat kepada wanita yang sangat special dalam hidupku!! Mungkin bisa dikatakan aku cukup kuat untuk menjadi penentram seorang ibu pada waktu itu.

                sebelumnya aku sudah tahu ketika seorang dokter mengirimkan email kepada saya, pagi sebelum kami berangkat ke rumah sakit. email yang berisi “ MAS DIAGNOSA ANDA SUDAH DIPERKUAT”, email yang cukup membuat seluruh ragaku kaku beberapa saat, membuat seluruh bibirku gemetar dan memaksa ragaku ini bersandar dipojok toilet yang penuh genangan air. Terdengar lirih dari percikan  air tersebut *Hey pecundang bangunlah!!! dimanakah imanmu??* kalimat singkat ini memompa seluruh nadi dan membakar semangatku lagi untuk menginjakan kakiku di rumah sakit. Ya mungkin ini salib yang benar-benar harus aku pikul dan aku jalani dalam lorong kehidupanku!!!

                zombie zombie dan zombie, ya, aku menamakannya sesosok zombie yang masuk dalam ragaku tanpa aku memintanya.. seolah-olah dia mengendalikan saraf bagian kiri tubuhku. Zombie yang sangat pintar mengambil celah-celah waktu dimana dia bisa brutal dan sangat membuat pelipis dahiku menjerit. Malam demi malam aku jalani dengan sakit yang begitu luar biasa.. semua saraf tepi bagian kiri membengkak tak beraturan. Rasa bebal atau anestetik yang membuat seluruh tungkai salah satu penopang raga ini tak berfungsi sementara. Halusnya belaian kapas putih pun tak bisa kurasakan!! Zombie yang tidak bisa di anggap enteng dan memerlukan energi besar untuk mengalahkannya. Sampai saat ini pun aku masih berjuang keras melawannya dan aku harus sembuh tanpa meninggalkan sebuah bekas luka satu pun!! Ini sudah cukup dekat dengan yang dinamakan SEMBUH !!!

Masih ada yang lebih hebat untuk dikalahkan dan bagaimana membawa diri kita melebihi kata HEBAT, bukan juga sekedar menjadi seorang BANGSAT yang sok HEBAT, tapi menjadi yang TERHEBAT diantara sekumpulan orang-orang HEBAT!!

>>>> cerita usang dari barak pengungsianku<<<<

Minggu, 09 Desember 2012

MAS JARWO


          Seorang pemuda berperawakan sedang itu bangun dari tidur panjangnya yang sudah cukup lama. Sedikit menghela nafas, ia berusaha mengumpulkan tenaganya untuk enyah dari tempat tidur yang sudah memanjakanya cukup lama. Senin pagi yang lumayan berat untuk dilewati mengingat tugas mas jarwo yang menggunung belum juga kelar, entah itu tugas rumah, kuliah, atau rengrengan agenda yang belum terealisasikan. Mas Jarwo nama akrab mahasiswa tingkat SMA (semester menengah akut), pemuda kalem di sebuah kampung yang sangat membuatnya benar2 bingung. Bagimana tidak bingung, Mas Jarwo yang biasa hidup di kampung pemabuk dan penjudi, tiba2 dikejutkan dengan warga ramah tamah, setiap hari pergi ke masjid, sekumpulan pemuda yang tiap malam sibuk menuang secangkir  kopi ke piring kecil dan duduk berjam-jam tanpa menghasilkan apa2 lalu subuhnya mengaji. rumah-rumah yang tertutup rapat setelah jam 9 malam.*haah* Mas Jarwo pun menggelengkan kepalanya dan memaksa ia mengumpat keras-keras dalam hatinya *JANCUKKK!!! Yah Mas Jarwo menyebutnya kampung JANCUK apakah mereka tergesa-gesa untuk ngencuk sehingga tidak ada yang kuat begadang?? Ah sudahlah tak penting memusingkan kampung bingung atau kampung jancuk itu!! Terperanjat Mas Jarwo dari tempat tidurnya, dikejutkan oleh waktu yang tanggung Mas Jarwo melangkahkan kedua penopang raganya dengan derap langkah yang bingung, seketika Mas Jarwo merasa canggung antara memilih gayung atau membuat secangkir kopi untuk menikmati waktu tanggung. “ah persetan masih jam 6 kurang 15 menit,” menit-menit yang genit untuk bercumbu dengan secangkir kopi yang pahit, gumam Mas Jarwo.
            Akhirnya secangkir kopi beraroma nikmat sudah siap disikat untuk menghajar pagi yang pekat, dengan kabut yang lumayan hangat. Cuaca seperti ini sudah menjadi selimut hidupku di bumi arema ini, cuaca yang lebih mudah dipahami daripada filasafat berat yang sering kutemui. Mas jarwo sedikit berorasi pagi ini. Mesin waktu  berdetak semakin keras mengalakan sirine ambulans yang biasa lewat depan rumah.  Gayung dan gemercik air pun bersahutan, seakan-akan memanggil mas jarwo untuk segera menyapanya.. setengah gelas kopi sudah kuteguk saatnya aku membilas malasku dengan batin hati yang lantang Mas Jarwo masuk kamar mandi.
            Mesin waktu sudah di area loosetime, Mas Jarwo tetap santai menikamati loosetime “paling-paling Bapak tua itu masuk telat, kata Mas Jarwo pelan”. Setengah gelas kopi, sisa tadi di habiskannya tanpa ampun. Semakin semangat menjalani senin pagi dengan hangat senyum mentari sesekali menyengat kulit-kulit ari. Sembari menyiapkan kuda besinya, Mas Jarwo selalu disuguhkan dengan sapaan-sapaan hangat warga sekitar yang lewat lalu-lalang di depan rumahnya. “selamat pagi Mas Jarwo”. Ya inilah KAMPUNG JANCUKKU, malam seperti kuburan tapi ketika pagi menjelang mereka seperti tercerahkan dari rumahnya masing-masing.”Kata Mas Jarwo sangat lantang”. Pemuda berkepala dua itu masih cukup lihai mensiasati malam-malamnya dengan beberapa karya, seperti melukis,menulis cerpen,puisi, atau membuat sketch wajah yang masih sulit untuk dibikin serealis mungkin. “ART IS PART OF ME”, *bisik Mas Jarwo kepada kuda besinya.

MAS JARWO
mahasiswa tingkat SMA (semester menengah akut)