Aku percaya kita akan di pertemukan lagi oleh waktu yang takkan seorang pun tahu,
Aku percaya suatu saat nanti kita pasti bertemu di belahan dunia ini,
Aku yakin harapanku kuat untuk bertemu denganmu lagi,
Entah di kota mana nanti kita beertemu lagi,
Yakinkan aku.. kau bahagia bertemu aku lagi,
Engkau lega melihatku lagi,
Kita lepas dalam tawa yang selama ini kita pendam dalam sekar mimpi,
Entah mengapa aku merasa aneh belakangan ini,
Dalam gerhana mataku aku selalu melihatmu tersenyum,
Namun terkadang kau memanggilku beberapa kali,
Seperti ada sesuatu yang memenjarakanmu,
Ada sesuatu yang mengikat kebebasanmu,
Tetapi setelah beberapa pesanmu ku baca,
Aku tahu semua hal yang mengikatmu,
Semua hal yang menahanmu dalam kebebasanmu,
Harapan yang tadinya padam, kini mulai hidup lagi.
Harapan yang sudah lama tertimbun jerami itu pun
Terbakar oleh beberapa pesanmu yang menguatkanku.
Terima kasih semesta kau telah mendengar hati kecil ini.
Aku akan menunggu pertemuan itu lagi.
CERITA DALAM PENA SAYA :)
time is yours to read my rock story !!!
Senin, 01 September 2014
Kamis, 28 Agustus 2014
MENULIS ATAU HANYA DIAM
Pada akhirnya aku berhenti kepada senja yang mempertemukanku kembali pada kata yang sukar untuk dipahami ini. pada beberapa baris kalimat yang lugu. Kalimat yang sering aku gumamkan di jejaring sosial ataupun notes kecilku. Tapi aku tidak berhenti pada sebuah tanda kalimat yang sudah mutlak disebut dengan titik. Aku tidak berhenti di sini.
Aku kembali menuliskan apa-apa yang seharusnya ku tulis lagi, apa-apa yang harus ku renungkan lagi. Mungkin aku tidak akan berhenti menuliskan semua ceritaku, aku akan terus menulis, menulis dan menulis lagi. Karena ini bagian dari teman dimana aku dapat menumpahkan semuanya di dalam rangkaian kata yang sukar di pahami oleh semua orang. Aku suka menulis.
Mungkin semacan diary atau sejenisnya, ketika kau menuliskan ceritamu, semua terasa lega, dan kau akan selalu tersenyum kembali ketika membacanya. Terkadang mungkin melelahkan untuk memulai membaca beberapa baris kalimat yang tersusun rapi dalam beberapa paragraf bahkan buku. Sebagian orang yang tak mempedulikan bahkan tak mepunyai rasa keindahan sastra akan merasa muak jika melihatnya. Namun bagiku tidak!! tidak seperti itu!! Aku selalu menghargai tulisan tulisan indah yang membentuk karya sastra.
Mungkin aku bercita-cita sebagai seorang penulis, tapi intuisiku untuk kesana belum terlalu mumpuni. Semua itu takkan menjadi hal yang mustahil ketika kita mempercayainya. Semua butuh waktu, butuh proses, dan butuh ketelatenan untuk mewujudkannya. Semuanya berasal dari sini. dari niat dan semangat.
Namun beberapa hari ini aku merasa muak hidup di sekeliling orang yang menghabiskan waktunya sia-sia dan hampir tak tersisa untuk sesuatu yang berguna. berjam-jam di depan televisi, berjam-jam sibuk dengan gadgetnya, berjam-jam tidur tanpa teringat harus terbangun, nongkrong di warkop seharian dan tidak menghasilkan apa-apa. Tak ada *carpe diem* di dalam diri mereka, tak ada niat melawan keseharian yang begitu-begitu saja, jujur aku sendiri merasa risih dan tenggelam di kerumunan mereka. aku merasa seperti orang asing di planet yang berbeda. dan harus bersinggungan dengan mereka.
Mungkin aku bukan pekerja keras seperti kuli pasar, tukang ojek, atau buruh-buruh lainnya. yang setiap harinya bercucuran keringat untuk sesuatu yang berharga dalam keluarganya. Aku hanya manusia yang sangat mencintai karya dan itu alasan saya harus menulis, membuat sketch, mural dan karya-karya lainnya.
Senin, 10 Februari 2014
ILUSI DALAM SECANGKIR KOPI
Ketika pagi masih sembunyi..
Aku masih sendiri,..
Sendiri dari mereka yang terlelap dibuai sekar mimpi.
Rasa rindu semakin akrab dengan sepi dan ilusi.
Rasa rinduku masih berdiam di pelipis ini,
Menggumpal seperti isi perut kapal.
Pelan-pelan rasa rinduku menyelinap di sela-sela pintu
Yang berderit lambat...
Rintik hujan pagi meramaikan hati yang sepi,
Namun lagi-lagi sepi ini terus bersembunyi..
Bersembunyi di dalam rongga hati sebelah kiri.
Rasa ini mulai menghangatkan nadi-nadi yang mulai termakan ilusi.
Tapi, bolehkah aku sedikit saja menikmati pagiku denganmu ?
Dengan teman-teman pelengkap kita; kopi. rokok, hot coklat, dan setumpuk bukumu ??
Dengan senyumanmu yang sebentar lagi pergi, Bolehkah ??
Sesaat aku terdiam dalam ilusi yang semakin menarikku ke dalamnya..
Melamunkanmu di pagi indahku,..
dan sekejap bayangmu tenggelam di dalam secangkir kopi hitamku.
Aku masih sendiri,..
Sendiri dari mereka yang terlelap dibuai sekar mimpi.
Rasa rindu semakin akrab dengan sepi dan ilusi.
Rasa rinduku masih berdiam di pelipis ini,
Menggumpal seperti isi perut kapal.
Pelan-pelan rasa rinduku menyelinap di sela-sela pintu
Yang berderit lambat...
Rintik hujan pagi meramaikan hati yang sepi,
Namun lagi-lagi sepi ini terus bersembunyi..
Bersembunyi di dalam rongga hati sebelah kiri.
Rasa ini mulai menghangatkan nadi-nadi yang mulai termakan ilusi.
Tapi, bolehkah aku sedikit saja menikmati pagiku denganmu ?
Dengan teman-teman pelengkap kita; kopi. rokok, hot coklat, dan setumpuk bukumu ??
Dengan senyumanmu yang sebentar lagi pergi, Bolehkah ??
Sesaat aku terdiam dalam ilusi yang semakin menarikku ke dalamnya..
Melamunkanmu di pagi indahku,..
dan sekejap bayangmu tenggelam di dalam secangkir kopi hitamku.
Jumat, 12 Juli 2013
#emperanseni
Tempat lamunan pemimpi dan penikmat seni,
disini kami berbagi intuisi yang kami punyai.
Inilah emperan seni dengan secangkir kopi kami,
Mencairkan obrolan seni yang kesana-kemari.
Kami para pemimpi yang tak ingin berhenti sampai disini,
Angin dingin kota anarki seakan menjadi bara api, ketika
kami saling bertukar imajinasi.
Sampai aku tak tahu caranya menyambut pagi, bahkan untuk
saling mengucapkan selamat pagi.
Sementara kampoeng jancuk sedang terbuai dalam sekar mimpi,
Kami sekumpulan kecil dari mereka yang berusaha menyuarakan
seni ketika pagi mulai pergi.
Ini cara kami berdiskusi seni, berkarya dan menjadi bagian
dari seni,
Bukannya sok nyeni, tapi kami benar-benar mencintai seni.
Sesekali musik-musik band indie menemani obrolan dan canda
tawa kami,
Seperti ; dialog dini hari, festivalist, navicula, suicidal,
dan setumpuk karya iblis-iblis yang lain.
Terlepas dari semuanya, emperan seni hanyalah sebuah emperan
saja,
Emperan sederhana, bertikar anyaman plastik ,tanpa kursi untuk orang-orang berdasi .
Selamat pagi para pemimpi dan penikmat seni, kalianlah
sesungguhnya intan ibu pertiwi ini.
(kami dan setumpuk karya kami)
~tanah anarki~
Kamis, 11 Juli 2013
Teman Pencerita
Teman
pencerita sang pengolah raga dan sukma yang begitu luar biasa, sedikit saya
bercerita tentang siapa sang teman pencerita yang saya maksud.
Perawan
bertalenta yang dalam beberapa tahun akhir ini sering mengisi pikiran saya
ketika sepi terlarut dalam lamunanku sendiri. Bak ombak yang bergulung di laut lepas,
seketika ia seakan memecah karang yang sudah terlalu lama terdiam.
Bayang-bayang teman pencerita semakin jelas dan terus menggumpal di dalam
tempurung kepala ini. #ASUdahlah bung teriaknya di sisi kegelapan kedua
retinaku.
Sesekali kami
saling memotivasi diri, ketika satu diantara kami sedang melayang terbawa arus
waktu yang kurang begitu jelas. Kami memperjelasnya dengan saling bercerita.
Dilema
mahasiswa akut yang merindukan kampung halamannya, seputar masakan rumah yang
sempat membuat kami gila dan memaksa menarik-ulur air liur kami diranjang
masing-masing, atau hal-hal yang mengganjal perasaan kami untuk di sharingkan,
tentang keluarga, masalah disekitar kami, bahkan tentang sebuah mimpi yang
terbeli. Lepas lelah terasa lebih ringan
disaat kami asyik bercerita dan seketika terlelap dalam gerhana mata kami
masing-masing. Hanya sebuah rasa kangen terhadap keluarga kami. Inilah salah
satu cara kita mensiasati malam di kota perantauan. tempat dimana kami harus
keluar dari kerajaan kanjuruhan sesuai target kami masing-masing.
Semua kami
ceritakan dalam sela-sela waktu di luar kesibukan kampus, maka itu aku
menyebutnya teman pencerita. Teman pencerita
seakan menyelamatkanku dari reruntuhan sepi yang kadang mendominasi ruangan
ini, ruang pengap tanpa jendela berukuran 3x3 meter ini, seperti sepetak ruang
dimana aku harus menjadi lebih berarti untuk diriku sendiri di masa mendatang.
Teman pencerita berada dalam karyaku, menemani sisa-sisa waktu di tanah anarki
ini.
Tapi bukan
hanya sebatas ini, dia seperti partner ketika kami menciptakan sebuah karya, 2
karya drama kami ciptakan bersama, drama pertama kami “ ande-ande lumut ” dan
drama yang masih hangat akhir-akhir ini adalah “Turning Love”. Sebagian
besar orang di luar sana menganggap karya hanyalah hal yang semu untuk
dinikmati dan tak begitu berarti. Tapi bagi kami karya adalah bagian dari aku
dan teman pencerita.
Waktu terus
berlalu dan seakan beku di sekujur tubuhku entah apa yang ada dikepalaku, tapi
ini seperti musibah yang terus merajah urat-urat nadiku, sebuah rasa yang
takkan aku mengerti sebelumnya dan sangat sulit untuk aku tafsirkan di
kehidupan nyata ini. Rasa itu membelenggu hari-hariku, membuat aktivitasku
untuk beberapa pekan terakhir ini begitu berwarna, aku seperti setitik bercak
hitam yang tenggelam diantara warna-warna cat diatas pallet kesukaanku. Yah,
itulah mungkin aku menamakannya rasa dalam puing-puing kata ini, seperti yang
sudah ia tulis di header blognya tahun lalu.
Teman
pencerita yang membawa cinta untuk seorang pemuda dari jogja, atau bahkan
sebaliknya?? aku tidak tahu kalimat apa yang pas untuk mewakilkan ini semua,
ini sudah terlalu dalam, sangat dalam untuk aku dan teman pencerita, tapi aku
tidak berhenti disini. Aku terus maju untuk memperjuangkan rasa diantara kata-kata
yang berserakan .
Terkadang di
kerumunan rakyat kanjuruhan dia tersenyum bingar, senyumnya terapit 2 bulan
sabit kecil di kanan-kiri pipinya memebekukan panas matahari yang saat itu
menyengat J,
aku tetap terdiam dan terus menikmati senyum teman pencerita yang sangat khas
bagiku. Dan terbukti bahagia itu sederhana, melihatnya bahagia, sudah cukup
melegakan bagiku. sampai suatu pagi aku tercerahkan oleh 2 belati yang
tiba-tiba tertancap di bola mataku.
Pagi yang
menakjubkan , tepatnya 8 july 2013, sekitar pukul 9.45 waktu Indonesia bagian
nggerus. bahkan terlalu pagi untuk seorang insomnia sepertiku. Aku dikejutkan
dengan teman pencerita dan pemuda dari seberang jalan, tepat aku keluar dari
kampus. Aku tetap berjalan pelan dan
seakan ribuan belati turun dari karung-karung Tuhan menghujani tempurung
kepalaku, aku terus melangkahkan penopang raga ini ke arah redrose, kuda besi
yang kuparkir disebelah kampus, tempat favorite redrose , dimana redrose selalu
setia menungguku selama oven panas kerajaan kanjuruhan di mulai. Redrose juga
menjadi salah satu saksi dimana sebuah kebenaran terungkap. Langkahku kecil dan
mereka semakin pelan, tanyaku “ lho kok belum berangkat??” jawabnya “iya
travelku telat”. Kemudian mereka menghilang diantara gugusan awan yang sangat
menyilaukan. Rencana yang ku susun
matang-matang dengan redrose, akhirnya membusuk dan menghasilkan bau yang tak
begitu sedap. Redrose bergumam #ASUdahlah bung.. bung, bekalmu akan aku simpan
biarkan bekalmu menjadi pemberatku, biarkan aku mengurangi bebanmu. Lalu Aku
kembali ke beranda emperan seni ditempat lamunanku terjaga dan redrose yang
setia menemaniku.
Pagi yang
cukup membuatku gila, hingar-bingar-hampa aktivitas dan rutinitas waktu itu
berantakan, sangat kacau. Tapi aku tetap menjadi pengendali raga terbaik,
seperti yang sudah pria setengah baya itu katakan padaku “Tetaplah menjadi
pengendali raga terbaik di dunia ini”. Secarik kalimat itu juga menjadi bagian
aku dan teman pencerita. Akhirnya aku memilih suatu sikap sejati dari seorang
pemuda biasa yang belajar menjadi jiwa seorang seniman. Menarik garis keras
dari pensil conteku. Garis keras untuk sebuah rasa yang sudah menjadi ganas dan
bringas. Aku membatasi rasa tersebut, bersifat professional layaknya seniman
kawakan, mengurung rasa itu di jeruji setan, dimana sekumpulan iblis berdiam
melengkingkan ribuan tangga nada rasanya.
Mengaguminya dan menjadikannya teman
pencerita, hanya sebatas itu. tidak ada lebihnya setelah aku mengetahui
semuanya. Teman pencerita hanyalah teman pencerita saja dan akan tetap menjadi
teman pencerita. Memposisikan diri untuk cerita-cerita selanjutnya bersama
teman pencerita.
Teman pencerita telah mempunyai
seorang penjaga dari kerajaan seberang. sementara aku tetap dengan karyaku dan
setumpuk mimpiku yang sempat terbeli di tanah anarki ini.
Rasa ini tetap
manjadi maha karya yang luar biasa, aku tetap menyimpannya di kotak kecil
tumpukan rasa dan entah kapan waktunya aku akan membakarnya bersama
lengkingan-lengkingan iblis penghuni penjara setan. Di tanah anarki ini aku
tancapkan belati tuhan untuk para penghuni nestapa negeri seberang.
Salah satu senyum teman pencerita yang aku
buat sketch tadi pagi J #bahagiaitusederhana,
melihatnya tersenyum bahagia diatas bianglala. Tetaplah menjadi pengendali raga
terbaik, aku telah menjadi pengendali rasa terbaik untuk kita. Anda teman
pencerita yang hebat !!!
teman pencerita (12 july 2013)
Minggu, 05 Mei 2013
ZOMBIE
Kira-kira sudah
setahun lebih zombie ini menggerogoti tubuhku, menghabiskan energy yang
ada dan melumpuhkan seluruh saraf
tepiku. Tak ada yang mengira aku bisa bertahan sehebat ini, setangguh ini,
memang tak mengeluarkan keringat tapi dengan sisa-sisa semangatku yang ada aku
terus berjuang untuk melawan zombie yang cukup ganas dan bringas melebihi
perkiraanku dan dugaan para medis.
Vonis yang berat
di pertengahan bulan September tahun 2012 cukup memaksa wanita setengah baya
itu mengeluarkan air matanya dari kedua bola mata yang sangat indah. Tubuhnya
melemah setelah salah satu dokter memvonis saya positif mengidap MH tipe BTA, dia
duduk bersandar kursi tunggu pasien dan terus berkucuran air mata, perlahan aku
mengusap wajahnya dan memberi semangat kepada wanita yang sangat special dalam
hidupku!! Mungkin bisa dikatakan aku cukup kuat untuk menjadi penentram seorang
ibu pada waktu itu.
sebelumnya aku
sudah tahu ketika seorang dokter mengirimkan email kepada saya, pagi sebelum
kami berangkat ke rumah sakit. email yang berisi “ MAS DIAGNOSA ANDA SUDAH
DIPERKUAT”, email yang cukup membuat seluruh ragaku kaku beberapa saat, membuat
seluruh bibirku gemetar dan memaksa ragaku ini bersandar dipojok toilet yang
penuh genangan air. Terdengar lirih dari percikan air tersebut *Hey pecundang bangunlah!!! dimanakah imanmu??* kalimat singkat ini memompa
seluruh nadi dan membakar semangatku lagi untuk menginjakan kakiku di rumah
sakit. Ya mungkin ini salib yang benar-benar harus aku pikul dan aku jalani
dalam lorong kehidupanku!!!
zombie zombie dan
zombie, ya, aku menamakannya sesosok zombie yang masuk dalam ragaku tanpa aku
memintanya.. seolah-olah dia mengendalikan saraf bagian kiri tubuhku. Zombie yang
sangat pintar mengambil celah-celah waktu dimana dia bisa brutal dan sangat
membuat pelipis dahiku menjerit. Malam demi malam aku jalani dengan sakit yang
begitu luar biasa.. semua saraf tepi bagian kiri membengkak tak beraturan. Rasa
bebal atau anestetik yang membuat seluruh tungkai salah satu penopang raga ini
tak berfungsi sementara. Halusnya belaian kapas putih pun tak bisa kurasakan!! Zombie
yang tidak bisa di anggap enteng dan memerlukan energi besar untuk
mengalahkannya. Sampai saat ini pun aku masih berjuang keras melawannya dan aku
harus sembuh tanpa meninggalkan sebuah bekas luka satu pun!! Ini sudah cukup
dekat dengan yang dinamakan SEMBUH !!!
Masih ada yang lebih
hebat untuk dikalahkan dan bagaimana membawa diri kita melebihi kata HEBAT,
bukan juga sekedar menjadi seorang BANGSAT yang sok HEBAT, tapi menjadi yang
TERHEBAT diantara sekumpulan orang-orang HEBAT!!
>>>> cerita usang dari barak pengungsianku<<<<
Minggu, 09 Desember 2012
MAS JARWO
Seorang pemuda berperawakan sedang
itu bangun dari tidur panjangnya yang sudah cukup lama. Sedikit menghela nafas,
ia berusaha mengumpulkan tenaganya untuk enyah dari tempat tidur yang sudah
memanjakanya cukup lama. Senin pagi yang lumayan berat untuk dilewati mengingat
tugas mas jarwo yang menggunung belum juga kelar, entah itu tugas rumah,
kuliah, atau rengrengan agenda yang belum terealisasikan. Mas Jarwo nama akrab
mahasiswa tingkat SMA (semester menengah akut), pemuda kalem di sebuah kampung
yang sangat membuatnya benar2 bingung. Bagimana tidak bingung, Mas Jarwo yang
biasa hidup di kampung pemabuk dan penjudi, tiba2 dikejutkan dengan warga ramah
tamah, setiap hari pergi ke masjid, sekumpulan pemuda yang tiap malam sibuk
menuang secangkir kopi ke piring kecil dan
duduk berjam-jam tanpa menghasilkan apa2 lalu subuhnya mengaji. rumah-rumah yang
tertutup rapat setelah jam 9 malam.*haah* Mas Jarwo pun menggelengkan kepalanya
dan memaksa ia mengumpat keras-keras dalam hatinya *JANCUKKK!!! Yah Mas Jarwo
menyebutnya kampung JANCUK apakah mereka tergesa-gesa untuk ngencuk sehingga
tidak ada yang kuat begadang?? Ah sudahlah tak penting memusingkan kampung
bingung atau kampung jancuk itu!! Terperanjat Mas Jarwo dari tempat tidurnya, dikejutkan
oleh waktu yang tanggung Mas Jarwo melangkahkan kedua penopang raganya dengan
derap langkah yang bingung, seketika Mas Jarwo merasa canggung antara memilih
gayung atau membuat secangkir kopi untuk menikmati waktu tanggung. “ah persetan
masih jam 6 kurang 15 menit,” menit-menit yang genit untuk bercumbu dengan secangkir
kopi yang pahit, gumam Mas Jarwo.
Akhirnya secangkir kopi beraroma
nikmat sudah siap disikat untuk menghajar pagi yang pekat, dengan kabut yang
lumayan hangat. Cuaca seperti ini sudah menjadi selimut hidupku di bumi arema
ini, cuaca yang lebih mudah dipahami daripada filasafat berat yang sering
kutemui. Mas jarwo sedikit berorasi pagi ini. Mesin waktu berdetak semakin keras mengalakan sirine
ambulans yang biasa lewat depan rumah. Gayung
dan gemercik air pun bersahutan, seakan-akan memanggil mas jarwo untuk segera
menyapanya.. setengah gelas kopi sudah kuteguk saatnya aku membilas malasku dengan
batin hati yang lantang Mas Jarwo masuk kamar mandi.
Mesin waktu sudah di area loosetime,
Mas Jarwo tetap santai menikamati loosetime “paling-paling Bapak tua itu masuk
telat, kata Mas Jarwo pelan”. Setengah gelas kopi, sisa tadi di habiskannya
tanpa ampun. Semakin semangat menjalani senin pagi dengan hangat senyum mentari
sesekali menyengat kulit-kulit ari. Sembari menyiapkan kuda besinya, Mas Jarwo
selalu disuguhkan dengan sapaan-sapaan hangat warga sekitar yang lewat
lalu-lalang di depan rumahnya. “selamat pagi Mas Jarwo”. Ya inilah KAMPUNG
JANCUKKU, malam seperti kuburan tapi ketika pagi menjelang mereka seperti
tercerahkan dari rumahnya masing-masing.”Kata Mas Jarwo sangat lantang”. Pemuda
berkepala dua itu masih cukup lihai mensiasati malam-malamnya dengan beberapa
karya, seperti melukis,menulis cerpen,puisi, atau membuat sketch wajah yang masih
sulit untuk dibikin serealis mungkin. “ART IS PART OF ME”, *bisik Mas Jarwo
kepada kuda besinya.
MAS JARWO mahasiswa tingkat SMA (semester menengah akut) |
Langganan:
Postingan (Atom)